Terbangun di Dua Februari

Posted: February 1, 2016 in Asal, Februari Ngeblog
Tags: ,

Dalam hiruk pikuk kesunyian malam, sejenak bermimpi untuk kembali ke dunia nyata. Dalam malam-malam akhir-akhir ini, seorang gila namun waras bercerita tentang hal-hal yang tidak ia ketahui. Tentang berbagai pengalaman yang tidak pernah ia alami dan bagaimana ia akhirnya menyelesaikan masalah yang sampai kini membuatnya pusing.

Terkadang sebuah kebohongan takkan nampak jelas jika ia dikemas dengan rapi. Pun begitu sebuah kejujuran akan nampak tak berarti jika ia dikatakan seadanya. Hidup dalam kesederhanaan tak lagi menjadikan kita lebih baik di mata orang lain. Hanya perasaaan tenang bagi jiwa dan raga.

Banyak di antara kita, merasa kuat tuk hal-hal yang tak bisa kita angkat sedikitpun. Tapi juga tak jarang merasa lemah tuk mengatasi masalah yang sangat mudah. Seperti lelaki yang menyatakan dengan mudahnya kata suka dan sayang, dan seperti wanita yang menolak mencinta karena takut dengan rasa sakitnya.

Hujan pun demikian kini adanya, mungkin tepatnya hujan kini tak lagi sesederhana dulu. Tak lagi dikawal mendung awan hitam dan juga tak lagi berhenti tuk waktu yang tepat diperkirakan. Mungkin zaman yang merubahnya, usia dan pengalaman terkadang membuat kita lebih senang bereksperimen, improvisasi bahkan membelokkan kesederhanaan proses menjadi lebih rumit dan tak terjangkau akal sehat kita.

Terbangun dalam dini hari yang senduh. Saat tak ada suara yang menemani. Sekeliling hening dan memilukan. Pilu dengan rindu yang mengelayut di dinding-dinding ruang kamar ini. Sekilas terlihat wajah ibu, bapak dan rumah. Sekilas menjadi kumpulan foto kenangan yang tak asing di ingatku.

Sudah terlalu lama menatapi lamat-lamat sepertiga malam yang gelap. Hujan turun berirama riuh dan rendah. Ia tak berhenti pun sedetik tuk tumpah saat ini. Mengalirkan riak-riak arus kecil di perdelapan hasta daun pintu kamar ini. Mengantar ingatan menuju masa lalu yang tak berujung pangkal dan tak lagi masuk akal.

Waktu tetap akan kembali bergulir, meski kita menolak masa yang akan datang. Mungkin benci menjadikan kita pesimis. Menjadikan ruang-ruang imaji kita terbatas oleh pengalaman yang kita lalui. Sebuah dobrakan di masa depan, butuh keseriusan dan ketabahan. Memulai adalah persenan tertinggi tuk sebuah keberhasilan. Mulai lah dan tentunya akan menuju pada hasil di akhir kelak.

Aku bermimpi dalam nyataku saat ini. Menjadikan hidup sepertiga malam. Menghamba pada subuh dan rinai hujan yang membentuk musik tak bermelodi. Sudah lama tak menikmati subuh ini. Menjadikan bait-bait puisi untuk kita lafalkan. Meski ku tahu, doa-doa dalam sujudmu lebih indah dari bait puisiku.

Teruntuk diri yang terbangun di dua Februari, tepat bersama perasaan yang menanti tuk luruh. Gumpalan rindu yang ia titipkan tak kuasa bertahan. Melepasnya tuk pergi bersama malam. Mungkin ia tahu betul, bahwa siang hanya akan menyakitkannya. Menawarkan terik dan panas yang tak bersahabat untuknya. Membawa terang yang silau dengan penglihatannya.

Dalam diam aku berhenti. Sejenak berpaling pada pintu yang tertutup. Menawarkan aku tuk tetap menunggu atau pergi dan menjauh.
Dalam diam aku berhenti. Kembali menatap ia yang aku tak lihat. Ia yang berada tepat di belakang pintu dan menunduk. Ia masih menunggu, menantikan kepastiaan yang akan ia nanti sampai kelak ia mati.

Leave a comment